~* AKU TERPAKSA
MENIKAHIMU DAN AKHIRNYA AKU MENYESAL *~
Kisah yang sangat sedih, penyesalan seorang
istri yang tidak memperhatikan suaminya dan menyia-nyiakan cinta suaminya...:'(
Ketika suaminya telah tiada, dia baru sadar
betapa besarnya cinta suaminya kepada dia.
======================================
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan
dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak
pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua,
membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah
menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya
sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya
pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak
punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat
menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna
untuk putri satu-satunya mereka.
Setelah menikah, aku menjadi istri yang
teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku
sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang
istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah
seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku
padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua
keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada
seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu
menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di
tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas
meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku
meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung
bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa
memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali
ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak.
Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung
dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya
begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia
membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat
bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan
semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus
mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi
agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena
aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa
berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling
akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa,
dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari
itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya
menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan
peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di
acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci
kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium
pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga
anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan
pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali
mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk
ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon
langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku
sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling
memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun
betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah.
Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam
tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa
kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang
jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa
menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja
kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar.
Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian,
handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan
setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil
dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku
cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa
menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan
kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si
empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan
mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu
karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi
untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan
berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin
tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban
meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali
berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali
mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing
menjawab telepon suamiku.
Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki
asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak
armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.
Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia
memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke
rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima
kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku
menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku
dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah
sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana
menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang
gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang
melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam,
tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan
menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan
itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai
mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan
orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua
mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul
memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku
menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk
di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku
benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan
kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang
telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh
perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku
menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak
dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata
tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian
wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi
bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan
dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti
menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah
kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah
memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia
selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus
kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah
absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku
sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah
bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir
seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi
kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan
mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak
untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum
ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang
larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak
pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya
karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri
lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang
menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku
terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku
dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka
kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya
bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak
di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk
termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan.
Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang
mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak
memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok
menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang
meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat
teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di
kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar
suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu
mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur
kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku
begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa
me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas
jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat
kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi
terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya,
sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya
dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru
menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah
karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena
baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah
karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi
yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun
kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta
maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta
ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu
sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta
Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga
untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah
menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga
mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku
dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres
dan tak pernah bekerja.
Semua dilakukan suamiku. Berapa besar
pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah
rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan
setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja,
aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku
terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama
ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah
tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang
aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji
terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga.
Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali.
Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu
kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali
dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia
mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam
surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya
untukku.
“Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih
dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus
segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang
lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan
anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi
sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu
saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian
nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa
kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan
mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan
banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi
kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan
selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh
yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena
ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan,
ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi
dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke,
Buddy!”
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar
kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia
mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku
memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah
kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan
tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajeri oleh orang-orang
kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar
cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami
dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi.
Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu
hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika
orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak
satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga
tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri
kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya
Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang,
cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan
kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan
hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun
persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk
ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah
suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua.
Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian
berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat
menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk
membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk
mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas
dari cintanya yang begitu tulus.
***
Begitulah penyesalan sang istri akhirnya, dia
menangis dan menyesal. Ketika suaminya telah tiada, dia baru sadar betapa
besarnya cinta suaminya kepada dia. Semoga hal ini tidak terjadi lagi dalam
kehidupan sekarang tetapi hanya cintanya saja yang akan terjadi.